Rabu, 18 April 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN PERPAJAKAN INDONESIA

Sebagaimana telah diuraikan, akuntansi dapat menghasilkan informasi ekonomi yang bermanfaat untuk manajemen atau pihak-pihak di luar manajemen, seperti pemerintah, bank, dan lain sebagainya. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur ketentuan formal perpajakan tentang kebutuhan informasi keuangan sebagai alat komunikasi bahkan tidak menggunakan istilah akuntansi tetapi menggunakan istilah Pembukuan dan Pencatatan.
Menurut Sijbren Cnossen, seorang guru besar Erasmus Universitiet Rotterdam, masalah perpajakan adalah masalah “book keeping’, di mana istilah book keeping lazim diterjemahkan dengan pembukuan. Apabila suatu negara secara nasional mempunyai book keeping yang kurang baik, maka akibatnya negara akan mengalami kesulitan dalam menyusun sistem perpajakan yang baik. Dengan demikian, masalah pembukuan merupakan bagian yang sangat penting bagi negara yang menggunakan self assessment system dalam pemungutan pajaknya.
Menyimak sejarah perpajakan di Indonesia yang dimulai dari kurun waktu penjajahan Belanda, sistem perpajakan lebih menekankan pada fungsi budgeted, yaitu pemasukan keuangan untuk keperluan pemerintah koloni. Sedangkan corak sistem pemungutan pajak mendasarkan pada official assessment. Pada sistem ini besarnya pajak yang terutang sangat bergantung pada aparat pajak (fiskus).
Setelah merdeka tahun 1945, pemerintah Indonesia dalam masalah perpajakannya, yaitu Ketentuan Perundang-undangan Perpajakan, masih tetap menggunakan perundang-undangan yang lama, walaupun telah dilakukan perubahan- perubahan. Namun sejak era tahun 1984 sampai sekarang dengan adanya pembaruan sistem pemungutan pajak, Indonesia memasuki era baru dengan menggunakan self assessment system. Self assessment system ini selanjutnya memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Peran pembukuan atau akuntansi dalam perpajakan perlu ditingkatkan. Paket 27 Maret 1979 dengan Inpres No. 6 Tahun 1979 dan keputusan Menteri Keuangan No. 108/KMK/077/1979 menyatakan bahwa Wajib Pajak diberikan keringanan dalam rangka penetapan pajaknya apabila Laporan Keuangan Wajib Pajak diperiksa oleh Akuntan Publik, sehingga pelaporan audit Akuiltan Publik digunakan sebagai dasar penetapan pajak, tanpa dilakukan koreksi, kecuali apabila laporan tersebut ternyata tidak benar. Sangat disayangkan dalam pelaksanaannya ternyata banyak Akuntan Publik yang tidak dapat dipercaya dalam menyusun pelaporan audit, sehingga Paket 27 Maret 1979 ini kemudian dicabut.
Memasuki era baru perundang-undangan perpajakan, sejak tahun 1984 telah terjadi perubahan besar yang tidak lagi menggunakan official assessment tetapi menggunakan self assessment system dalam pemungutan pajak di Indonesia. Kewajiban menyelenggarakan Pembukuan telah tegas diatur dalam Pasal 28 Undang- Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menyatakan:
1.      Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
2.      Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan adaiah Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pengaturan kewajiban pembukuan sebenarnya juga diatur secara implisit di berbagai undang-undang seperti Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang- Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah dilakukan perubahan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebagaimana telah dilakukan perubahan. Pada prinsipnya, peraturan-peraturan tersebut mewajibkan setiap badan usaha untuk menyusun Iaporan keuangan, sehingga harus menyelenggarakan pembukuan. Cara menyelenggarakan pembukuan dan menyusun Iaporan keuangan haruslah berpedoman pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang telah dilakukan pembaruan, terakhir dengan PSAK Tahun 2009. Demikian pula hubungannya dengan perpajakan bahwa kewajiban pembukuan merupakan bagian yang sangat esensial. Pembukuan menurut ketentuan perpajakan memiliki syarat- syarat sebagai berikut:
1.         Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2.         Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai aset, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
3.         Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang dii2inkan oieh Menteri Keuangan.
4.          Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan atau dokumen lain wajib disimpan di Indonesia selama 10 (sepuluh) tahun, yaitu di tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak Badan.
5.         Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan stelsel akrual atau stelsel kas. Apabila terjadi perubahan metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Setiap Wajib Pajak seharusnya menyelenggarakan pembukuan, sehingga dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. Apabila kewajiban pembukuan seperti yang telah diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang KUP tidak dipenuhi yang berakibat pajak yang terutang tidak dapat diketahui, tidak menyampaikan SPT walaupun telah ditegur, dan dari hasil pemeriksaan PPN dan PPnBM ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen), maka Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan (Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang KUP):
1.      50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak;
2.      100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan dan dipotong, atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan; atau
3.      100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.

1 komentar: